Karya-karya grafis Alfin Agnuba secara teknis sudah sempurna, tinggal masalah penguasaan tema dan visualisasi. 

Bertempat di Rumah Budaya Tembi Galeri Yogyakarta, berlangsung pameran karya grafis Alfin Agnuba bertajuk Rekayasa, dari 13-30 November 2013. Pameran karya mahasiswa ISI Yogyakarta ini merupakan bagian dari program residensi seniman yang diadakan oleh Rumah Budaya Tembi Yogyakarta selama tiga bulan.

Naik-naik-ke-Puncak-Gedung-Tinggi-tinggi-Sekali-ukuran-180-x120-cm,-MDF-Cut-Handcoloring,-Silkscreen,-Stencil-on-Canvas-(2013)_small
Naik-naik ke Puncak Gedung Tinggi-tinggi Sekali, 2013, MDF Cut Handcoloring, Silkscreen, Stencil on Canvas, 180 x 120 cm

Pada program residensi ke-13 ini seniman muda Alfin Agnuba terpilih. Ia dikenal sebagai mahasiswa ISI yang tekun dan memperlihatkan keingintahuan yang besar pada seni grafis. Dalam beberapa semester, penguasaan secara teknik dan perkembangan penjelajahan tematiknya terlihat jelas.

Ini terlihat pada pameran Rekayasa ini yang menghadirkan berbagai teknik dalam grafis berupa cukilan, sablon, stensil, hingga campuran ketiga teknik tersebut. Beragam teknik yang dieksplorasinya terlihat telah dikuasainya dengan baik. Begitu pula dalam pengolahan warna, Alfin terlihat begitu kaya dan beragam sehingga menggunakan lebih dari 9 jenis warna dan sering kali tanpa menyisakan ruang kosong di bidang gambarnya.

Untuk program residensi ini, Rumah Tembi Budaya tidak melulu memilih mereka yang berlatar pendidikan seni saja. Mereka yang berpotensi dalam seni dengan usia tidak lebih dari 25 tahun berkesempatan untuk masuk dalam program ini. Hanya saja, seleksi diberlakukan kepada siapa pun.

Pameran tunggal pertama Alfin Agnuba ini dikurasi oleh Bambang “Toko” Witjaksono. Sebagai kurator, Bambang mengerti betul proses kreatif Alfin dari awal ia masuk ISI Yogyakarta hingga setelah semester tiga. Sebagai dosen ISI Yogyakarta, Bambang mengajarkan mata kuliah grafis kepada Alfin. Di kampus, Alfin bersama kawan-kawan sekelas satu angkatan mendirikan kelompok Print Making Remedy yang kemudian disingkat PMR.

Hanya saja penguasaan teknis Alfin masih perlu dimaksimalkan, terutama kaitannya dengan permainan simbol yang hendak disampaikan di atas kanvasnya. Hampir semua karya yang mendapat penggarapan bagus tersebut, belum diiringi oleh penguasaan visualisasi yang terlihat pada penempatan simbol-simbol yang ia gunakan dan warna yang dihadirkan terkadang mengganggu.

Penempatan simbol-simbol berkaitan dengan penguasaan tema dan gagasan secara keseluruhan yang ada dalam diri seniman. Alhasil, karya Alfin kadang-kadang penuh daya tarik, tapi jika dicermati lebih dalam, tampak minim gagasan yang hendak disampaikan atau terlalu banyak yang hendak disampaikan sehingga fokus hilang. Demikian garis besar komentar Bambang “Toko” Witjaksono selaku kurator terhadap karya Alfin Agnuba.

Salah satu contohnya pada karya Naik-naik ke Puncak Gedung Tinggi-tinggi Sekali ukuran 180 x120 cm, MDF Cut Handcoloring, Silkscreen, Stencil on Canvas (2013). Karya ini rupanya bermakna harafiah dengan menggambarkan babi-babi, anjing, bahkan bangunan berbentuk kastil naik ke udara. Di bawahnya terlihat berderet bangunan kota sebagai latar belakang dari melayangnya objek-objek utama lukisan ini.

Pengunjung-di-depan-karya-Alfin-Agnuba_small
Pengunjung di depan karya Alfin Agnuba

Karya  Tomcat Attack, 90×53 cm, MDF Cut on Garda Paper 200 gsm (2013, 3 edisi) bercerita tentang serangan binatang yang dinamai tomcat di daerah Surabaya. Lantaran habitat persawahan berkurang drastis, binatang tomcat masuk ke perumahan penduduk dan menyerang penghuninya. Yang banyak mendapat sorotan betapa  spesies ini memiliki kekuatan, sementara ulah manusia  yang mendorong sang binatang berulah tidak muncul dalam karya.

Dalam karya Persembahan untuk Yang Mulia Gutenberg dan Para Pembaharunya, 90x53cm, MDF Cut, Silkscreen, Stencil on Garda Paper 200 gsm (2013, 3 edisi). Karya ini menghadirkan kontras yang jelas dengan sosok Gutenberg penemu mesin cetak di tengah kanvas sebagai pusat perhatian. Penggunaan warna hitam pada sosok Guterberg ini dikelilingi oleh warna dominan merah dengan meletakkan ikon tokoh ini sebagai lakon utama. Sementara muncul tangan di depan di antara lingkaran dari beragam objek yang menyelubungi  sosok Gutenberg.

Tangan ini tidak utuh tetapi tercacah bagian lengannya oleh pisau. Tangan itu tak berdaya. Tak berdaya di depan penemuan teknologi cetak yang menggantikan kemampuan manual yang dikerjakan tangan-tangan terampil manusia. Karya ini seperti peringatan yang menyedihkan pada sosok Gutenberg oleh seorang pecinta grafis Alfin Agnuba. Apalagi simbol gagak yang muncul di di antara rangkain simbol lainnya. Gagak menegaskan simbol kematian keterampilan manual itu.

Di atas semua itu, semangat yang ditunjukkan Alfin Agnuba lewat karya grafisnya patut diapresiasi. Usianya masih muda dan keterampilan teknisnya sudah cukup bagus dan karakter karya-karyanya sudah terbangun. Ke depan tinggal memperdalam penguasan tematik dan perwujudannya.

Tomcat-Attack,-90x53-cm,-MDF-Cut-on-Garda-Paper-200-gsm-(2013,-3-edisi)_small
Tomcat Attack, MDF Cut on Garda Paper 200 gsm, 2013, 90 x 53 cm

“Yang paling penting adalah Alfin senantiasa mempunyai kesadaran bahwa dia sedang berada di titik mana dan akan menuju ke mana. Kesadaran ini penting untuk melangkah ke tahapan berikutnya, yaitu ‘seharusnya/sebaiknya bagaimana,” ungkap Bambang ‘Toko’ Witjaksono selaku kurator.***