Karya dua perupa Tanah Air, Eko Prawoto (Yogyakarta) dan Faisal Habibi (Bandung) dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia “Lalu, Kini (Budaya Bendawi/Material Culture)” di Brussel dan Antwerp, Belgia. Pameran ini diselenggarakan sebagai bentuk partisipasi Galeri Nasional Indonesia dalam Europalia Arts Festival Indonesia 2017.
Bale Kambang adalah karya Eko Prawoto, dipamerkan pada 28 Oktober 2017 – 21 Januari 2018 di Bonapartedok dan Museum aan de Stroom (MAS), Antwerp. Bale Kambang adalah karya di ruang terbuka, semacam tempat peristirahatan dalam tradisi kerajaan di masa lalu. Profesi sebagai arsitek dan perupa menjadikan Eko banyak mengembangkan karya-karya dengan material bambu.
Baca juga Raja Belgia Kagumi Artefak Indonesia di Europalia
Bambu adalah material alam yang dipakai masyarakat di Asia untuk pelbagai keperluan hidup, mulai dari peralatan dapur, rumah, dan kesenian. Di masa kini, di saat perhatian mulai terpusat pada lingkungan dan keberlangsungan bumi yang lebih baik, bambu mulai dipikirkan kembali sebagai material alternatif.
Dalam pameran ini Eko mengembangkan karya interaktif, yang membuat masyarakat Eropa, yang jauh dari material bambu, dapat merasakan dan melihat bambu dari dekat, serta bermain dengan material ramah lingkungan tersebut.
Karya Faisal Habibi (Bandung) berjudul “Gunungan” sudah lebih dulu dipamerkan, yakni dari 17 September 2017 hingga 21 Januari 2018 di Festival Centre Gedung Dynasty, Brussel. Faisal menampilkan pola-pola geometris, berwarna-warni, dan menjulang. Sekilas mendekati bentuk logo pada Europalia 2017 yang kurang lebih menggambarkan atau menyimbolkan gugusan gunung-gemunung, pulau-pulau, dan spiritualitas.
Karya ini menggunakan material sehari-hari, di antaranya kayu, besi, dan akrilik. Material industri yang umum kita kenali pada karya-karya bebas Faisal Habibi ini merupakan gambaran perkembangan cepat budaya material dalam kehidupan dunia modern.
Baca juga Europalia Tayangkan Saur Sepuh
Diungkap kurator pameran Asikin Hasan dan Rizki A. Zaelani, karya Faisal dan Eko tidak hanya merepresentasikan pengetahuan seni rupa kontemporer yang semakin berkembang di Indonesia, tapi juga pemahaman dan penggunaan material industri yang makin meluas dari waktu ke waktu.
Budaya material tradisional beserta keterampilannya tidak lenyap dengan datangnya yang modern. Ia tumbuh sebagai sebuah kearifan, mendekatkan keperluan hidup sehari-hari dengan lingkungan alam sekitarnya.
“Prinsip keseimbangan antara manusia dan semesta, antara mikrokosmos dan makrokosmos, terkait-kelindan sebagai dasar keyakinan hidup. Karya-karya ini memperlihatkan simbol dan narasi, yang satu sama lain mengacu pada ketradisian, kemodernan, dan kekinian yang hidup di Indonesia,” tulis Asikin Hasan dalam siaran pers yang diterima Sarasvati.
Material orisinal yang tergantung pada cadangan di alam dan bergerak lambat serta terbatas itu disusul oleh material artifisial yang datang dari dunia industri. Dia digerakkan oleh sistem baru dan teknologi canggih, sehingga tumbuh sangat cepat dan dalam jumlah banyak. Tak dapat dihindari, dengan cepat pula menarik perhatian publik sebab bertolak dari tempat berbeda dari yang lama.
Baca juga Harmoni Keragaman Europalia Indonesia
Menurut Rizki A. Zaelani, pemilihan material dalam dua instalasi ini tidak menunjukkan sebuah garis lurus perkembangan budaya material itu sendiri, melainkan sebuah kumparan yang menegaskan pilihan perupa masing-masing.
Dalam makna lain, seorang perupa yang menggunakan material tradisional dari alam tak berarti yang bersangkutan terpaut mati pada ketradisian dan menolak kemodernan. Pun sebaliknya, sang perupa yang menggunakan material industri-modern tak berarti yang bersangkutan menolak pandangan dan simbolisasi ketradisian.
Selain menggunakan pelbagai teknik dan sistem modern, karya-karya instalasi ini juga menggali pelbagai ungkapan, simbol, narasi, yang satu sama lain mengacu pada ketradisian, kemodernan, dan kekinian yang hidup dan bertumpang tindih di Indonesia.
Europalia Arts Festival merupakan festival seni budaya dua tahunan terbesar dan bergengsi di Eropa yang diselenggarakan di beberapa kota di Belgia dan sekitarnya sejak 1969. Ajang ini diinisiasi oleh Kerajaan Belgia dengan memilih secara selektif negara tamu yang menjadi tema festival.
Untuk 2017 sekaligus menjadi penyelenggaraan Europalia ke-26, Indonesia mendapat kehormatan sebagai negara tamu (Guest Country) pertama dari Asia Tenggara juga yang keempat dari Asia setelah sebelumnya Tiongkok, Jepang, dan India.
Baca juga Naskah Kuno Batak dan Korwar Papua Bersiap ke Europalia 2017
Dalam pergelaran yang berlangsung selama tiga bulan sejak 10 Oktober 2017 hingga 21 Januari 2018 tersebut, Indonesia menampilkan teater, tari, musik, sastra literasi, film, seni rupa, dan gastronomi. Galeri Nasional Indonesia mengambil bagian dalam menyuguhkan konten seni rupa.
Sebelum “Lalu, Kini (Budaya Bendawi/Material Culture)”, Galeri Nasional Indonesia telah menggelar program serupa berupa pameran keliling di beberapa Negara, dengan tema dan konten berbeda. Pameran keliling yang menampilkan koleksi Galeri Nasional Indonesia telah digelar di Kuala Lumpur (Malaysia), Bangkok (Thailand), Manila (Filipina), (Hanoi) Viet Nam, Yangon (Myanmar), Tlemcen (Al Jazair), Washington, D.C. (Amerika Serikat), Phnom Penh (Kamboja), Canberra (Australia), dan Frankfurter Kunstverein (Jerman) dalam rangka Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 saat Indonesia menjadi guest of honour.