Sebuah karya seni tidak lahir semata dari kecanggihan teknik senimannya. Jauh sebelum praktek teknis penciptaan karya dilakukan, ada pergolakan dalam diri seniman – ide, kepekaan, serta antusiasme terhadap sebuah hal lahir di sana. Sensitivitas seniman pada akhirnya menuangkan buah pergolakan tersebut menjadi sebuah karya yang bisa bicara.
Melihat karya-karya Marida Nadenggan Nasution yang dipamerkan di Galeri Nasional pada Jumat, 20 Maret lalu adalah pengalaman merasakan sensitivitas sang seniman sepanjang kiprahnya dalam dunia seni grafis. Bertajuk “Kiprah Seorang Perempuan Pegrafis Indonesia”, pameran yang dihelat atas kerja sama Galeri Nasional Indonesia, Keluarga Besar Marida Nasution, dan Institut Kesenian Jakarta ini menampilkan sekitar 40 karya Marida sejak awal karir keseniannya hingga tahun 2000an. Karya-karya yang ditampilkan diambil dari koleksi keluarga serta beberapa pihak seperti Arifin Panigoro, Mien Soedarpo, dan lainnya.
Kata ‘Perempuan Pegrafis’ pada judul pameran sengaja dirangkaikan untuk menunjukkan bahwa di tengah sedikitnya seniman grafis perempuan, Marida mampu secara konsisten tumbuh di dalamnya. Seni grafis Marida, yang menggunakan teknik cetak saring dan etsa, tidak hanya tampil dalam bentuk yang konvensional, tetapi juga merambah bentuk patung-patung 3D dan instalasi cetak saring di atas akrilik yang transparan. Selain karya, pameran ini juga secara khusus menghadirkan ruang kerja Marida lengkap dengan meja dan peralatan yang biasa digunakannya saat berkarya.
Prof. Setiawan Sabana, yang diberi amanat langsung oleh almarhumah sebelum meninggal pada 22 September 2008 untuk menjadi kurator pameran, mengaku sempat menolak tawaran tersebut. “Banyak kurator yang lebih muda dan kompeten daripada saya,” ujarnya mengenai alasan penolakan tersebut. Faktor kedekatan dan demi mengabulkan permintaan Marida-lah yang pada akhirnya meyakinkannya untuk mengkurasi pameran yang akan berlangsung sampai tanggal 30 Maret 2015 ini.
Setiawan Sabana, atau yang akrab dipanggil Pak Wawan ini menerangkan seluk beluk karya Marida, mulai dari teknik pembuatan hingga tema-tema yang diusung sang seniman dalam karyanya. Lingkungan hidup, isu perempuan urban, hingga spiritualisme adalah tema-tema yang bisa diserap dari karya Marida. Misalnya, dalam karya tahun 2001 yang berjudul “Wanita Hamil”, kita dapat melihat sesosok perempuan yang sedang mengandung duduk di sebuah kursi. Tampilan hitam-putih dalam karya ini menguatkan emosi yang muncul dari sosok tersebut, terlebih jika mengetahui fakta bahwa Marida tidak pernah menikah dan meninggalkan keturunan. Dalam catatannya, Pak Wawan menceritakan, “Ia, katanya, ingin merasakan denyut nadi keibuan ketika seorang perempuan mengandung.”
Dari cerita tersebut, kita bisa ikut merasakan gejolak batin Marida yang dituang dalam karyanya. Selain itu, menurut pendapat Pak Wawan, di hari-hari terakhirnya, Marida cenderung menampilkan simbol-simbol yang merupakan hasil perenungannya. Yang menarik, sebetulnya kita bisa mendapati simbol-simbol Marida bahkan jauh sebelum saat kepergiannya. Lihat Flying yang dibuatnya pada 1982. Seekor kuda terbang berawarna emas dan berwajah wanita terbang di langit dengan pemandangan bintang-bintang dan sebuah pemukiman berada di bawahnya. Dari karya ini, kita bisa meragukan kapan periode simbolisasi itu muncul, atau paling tidak menyimpulkan bahwa kepekaan Marida yang dalam sudah muncul sejak lama sebelum akhirnya memang mencuat di akhir hayatnya.
Marida Nasution menempuh pendidikan seni di jurusan Seni Grafis di Departemen Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sebelum pameran “Kiprah Seorang Perempuan Pegrafis Indonesia”, Marida telah membuat enam pameran tunggal dan banyak pameran bersama baik di dalam maupun luar negeri. Ia juga pernah mendapat penghargaan dan medali khusus pada II Mediteranean Biennale of Graphic Art di Athena, Yunani (1990) dan International Biennial of Graphic Art di Ljubljana, Yugoslavia (1996). Marida meninggal dalam usia 52 tahun karena kelelahan sehabis berkarya.