Tiga balai lelang Indonesia mengadakan pelelangan karya seni rupa berbarengan dengan Art Stage 2013 di Singapura. Pelelangan ini menarik ketika salah satu dari balai lelang tersebut, yaitu Balai Lelang 33, memasang harga 18% untuk buyer’s premium di angka S$250.000. Sementara balai lelang lainnya tetap bermain di angka 22% dari nilai penjualan yang tercapai saat juru lelang mengetukkan palunya. Apakah penurunan angka ini memberi pengaruh yang signifikan?
Highlight:
Banyak yang berpendapat bahwa ketika ingin mendapatkan benda seni bernilai tinggi, Anda bisa datang ke pelelangan. Koleksi yang berkualitas dan bernilai sejarah tinggi akan menjadi andalan sebuah balai lelang. Di titik inilah, balai lelang menetapkan keberadaan buyer’s premium yang cukup tinggi, dan ternyata, setinggi apa pun nilainya, kolektor seolah tak peduli. Namun, di tengah kelesuan ekonomi dunia, apakah penurunan buyer’s premium bisa memberi suntikan energi tersendiri bagi transaksi karya seni yang sempat melemah di sejumlah balai lelang dunia?
- Balai lelang 33 dari Indonesia menawarkan terobosan baru dalam praktik pelelangan karya seni. Mereka memberikan harga buyer’s premium yang lebih rendah dari balai lelang lainnya, sebesar 18%. Namun penurunan ini tidak cukup mampu menghasilkan penjualan seratus persen dari total lot yang 33 tawarkan.
- Praktik buyer’s premium biasa dijalankan balai lelang sebagai semacam pungutan biaya yang berbeda dengan pajak pertambahan nilai (VAT). Sebagian besar balai lelang seperti Christie’s dan Sotheby’s tidak mengikutsertakan pajak pertambahan nilai pada buyer’s premium. Sayangnya tanpa disadari pembeli, penambahan biaya dan pajak ini sebenarnya memberatkan posisi mereka.
- Tingginya harga sejumlah karya seni di balai lelang, tidak menciutkan para kolektor untuk berburu karya seni di tempat itu. Padahal sebagian besar dari mereka sebenarnya menyadari akan adanya berbagai tambahan biaya yang terjadi setelah terjadi kesepakatan harga. Ini dikarenakan kegiatan lelang sangat melibatkan emosi dan persaingan dengan kolektor lainnya.
Dibanding balai lelang Borobudur dan Larasati, balai lelang 33 terbilang pemain baru. Meskipun baru, 33 berani membuat terobosan dengan memasang harga buyer’s premium lebih rendah dari kompetitornya, yaitu senilai 18%. Penurunan ini ternyata tak terlalu berdampak besar. Terbukti tak semua koleksi yang ditawarkan 33 terjual 100%. Ini membuktikan pendapat bahwa peristiwa lelang lazimnya melibatkan persaingan dan emosi para peserta lelang yang pada akhirnya menafikan akal sehat mereka. Balai lelang di Indonesia juga memiliki fenomena unik dibanding balai lelang internasional, yaitu hasil penjualan seratus persen yang didapatkan balai lelang Indonesia, ternyata tak sepenuhnya berarti karya seni itu terjual di tempat pelelangan. Itu ternyata hanya kamuflase untuk menaikkan harga koleksi tersebut sekaligus menaikkan citra balai lelang.