Karya Agus Koecink di Biennale Jatim 2015. (Dok. Ayos Purwoaji)

Seni media mulai dipraktikkan di Surabaya sejak dua dasawarsa yang lalu. Meski tidak pernah menjadi populer, pelaku-pelakunya terus melakukan regenerasi.

 

Pada pameran arsip 50 Tahun IFI Surabaya pada Agustus 2017, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Benny Wicaksono, sang kurator pameran, menggelar arsip-arsip potongan sejarah perkembangan seni media di Surabaya pada sebuah dinding.

Beberapa arsip yang ditampilkan antara lain poster pameran “Abandoned” (2004), lokakarya video art “Allô Surabaya” yang dimotori Agus Koecink dan Hafiz (2008), pagelaran “VIDEO:WRK” (2009), dan sebagainya. Dari situ, saya mulai menyadari bahwa di balik dominasi lanskap seni lukis, sebetulnya sejak 1995 perupa-perupa muda di Surabaya sudah mulai mengeskplorasi medium lain yang erat hubungannya dengan perkembangan teknologi, seperti seni video dan seni suara.

Hari ini, setelah dua dasawarsa berlalu, bagaimana perkembangannya?

Baca juga Mencicipi Sepotong Rasa Naif

Memindai rekam jejak perkembangan seni media di Surabaya dan sekitarnya bukanlah pekerjaan mudah. Selain karena tidak pernah menjadi medium arus  utama, pelakunya juga datang dan pergi secara dinamis. Seperti sinyal analog yang merambat longitudinal, perkembangan seni media di Surabaya naik turun mengikuti dinamika para pelakunya.

Melalui wawancara dengan beberapa sumber, munculnya praktik seni video di Surabaya tidak dapat lepas dari nama Agus Sukamto, atau lebih dikenal sebagai Agus Koecink. Seniman yang lahir pada 1967 ini mulai berkenalan dengan medium video ketika bekerja sebagai creative assistant di SCTV (1994-1999). Saat itu ia banyak mengerjakan penyuntingan iklan dalam format Betacam SP. Dari sanalah Agus Koecink mulai menjelajahi video sebagai ruang ekspresi.

Penjelajahan medium tersebut bukannya tanpa alasan, dalam sebuah kajian berjudul “Praktik dan Wacana Video Art di Surabaya” yang ditulis Asy Syams E.A., dicatat beberapa gejala yang menyebabkan penjelajahan medium tersebut dimulai, di antaranya stagnansi kreatif para pelukis angkatan 80’an, munculnya gerakan seni rupa alternatif di kalangan perupa muda, dan semakin banyaknya produk digital yang dapat diakses masyarakat luas. Konteks zaman tersebut menjadi pendorong yang kuat bagi praktik yang dilakukan Agus Koecink saat itu.

 

Toyol Dolanan Nuklir mengeksplorasi bebunyian atau seni interaktif. (Dok. Ayos Purwoaji)
Toyol Dolanan Nuklir mengeksplorasi bebunyian atau seni interaktif. (Dok. Ayos Purwoaji)

Pameran “Refleksi Budaya Lokal” yang diadakan pada 15–19 Desember 1995 oleh Dewan Kesenian Surabaya menjadi panggung pertama bagi Agus Koecink dalam menampilkan karya seni videonya. Karya video multichannel berjudul “Lakone Nopo…?” hadir sebagai bagian dari sebuah instalasi yang lebih kompleks yang terdiri atas tumpukan kardus, wayang mainan, pelepah pisang, dan kaos anak-anak.

Dalam karya video tersebut, Agus Koecink menampilkan footage seorang dalang dalam iklan obat sakit kepala yang dipotong sebagian dan ditampilkan berulang-ulang. Karya tersebut ingin menyampaikan kritik yang dibalut satir dan humor mengenai bagaimana nilai-nilai budaya dan tradisi dengan mudah dikomodifikasi untuk tujuan kapitalistik.

Selepas bekerja dari SCTV, Agus Koecink bergabung dalam sebuah agensi kreatif SAM-Design (1999 – 2003) sebagai perancang grafis, web dan cakram interaktif. Pekerjaan baru ini mempertemukannya dengan Martin Kristianto, teman sekantor yang kelak menjadi tandemnya dalam mendirikan ARTLAB.nu, sebuah kelompok pengembangan seni media yang berumur pendek. “Saat itu melalui ARTLAB.nu kami sempat membuat beberapa diskusi dan pameran bersama,” kata Agus Koecink.

Baca juga YANG MENGHUNI DAN YANG MENCIPTA KEDIAMAN

Martin Kristianto mengawali kariernya sebagai seorang fotografer. Ia mulai terjun dalam kancah seni rupa dan banyak mengeksplorasi seni video berkat dorongan Agus Koecink. Karya pertamanya berupa single channel video dan performans ditampilkan pada Pameran Seni Rupa Multimedia (2002) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Surabaya. Tak perlu waktu lama bagi Martin untuk beradaptasi dengan seni video, setahun kemudian, karyanya yang berjudul Dangdut Koplo ditampilkan dalam OK Video: Jakarta International Video Art Festival 2003.

Karya video Dangdut Koplo mengeksploitasi potongan-potongan footage video penyanyi dangdut yang tampil di panggung-panggung rakyat. Melalui teknik penyuntingan, Martin menyorot bagian pantat dan punggung penyanyi yang terus meliuk. Menonton karya tersebut menghadirkan kembali ingatan mengenai bahasa estetik tontonan populer di Indonesia yang bersifat vulgar namun kreatif, banal tapi sekaligus eklektik. Secara spesifik, karya tersebut akhirnya menimbulkan diskusi yang meluas pada wilayah etika tontonan di masyarakat dan dipresentasikan ulang di berbagai kesempatan seperti Worm Festival 5 di Singapura dan [Zeroglab]- Nano Festival v.02 di Rotterdam.

Meski dimulai pada waktu yang relatif sama dengan kota lainnya, namun seni media di Surabaya baru mendapatkan momentum tumbuhnya pada pertengahan 2000-an. Saat itu mulai muncul nama-nama seperti Benny Wicaksono, Agoes Sam, Astu Prasidya, Koko Triyono, Ary Dian, Antok Agusta, dan berbagai kolektif seperti Globalappleworks, Surabaya New Media Art Center, dan Insomnium.

Pada masa ini, sudah muncul kecenderungan penerimaan seni media sebagai bahasa ungkap dari medan seni rupa yang lebih luas. Beberapa pergelaran, seperti Pameran Pra-Biennale Jawa Timur (2004), Biennale Jawa Timur I (2005), dan Pameran Seni Rupa Akbar (2008) mulai memberikan bagian khusus bagi para perupa muda yang mendalami seni media.

Tren tersebut berlanjut hingga akhir 2000-an. Bahkan beberapa seniman yang sebelumnya melukis atau membuat karya instalasi juga tertarik untuk mengeksplorasi seni media. Di mana – meminjam istilah yang sempat dilontarkan Ronny Agustinus,  salah satu pendiri ruangrupa dan penerbit Marjin Kiri – sesungguhnya mereka sedang mencoba “menunggangi buih”.

Berbagai lokakarya seni media digelar, baik di dalam kampus maupun di pusat-pusat kebudayaan. Hal tersebut mendekatkan praktik seni media dengan apresiasi masyarakat yang lebih luas lagi. Di sisi lain, kemunculan praktik visual jockey memberikan saluran alternatif bagi para pelaku seni media untuk masuk ke ruang-ruang popular, seperti bar, café, mall, dan distro. Pada masa yang sama, beberapa kolektif yang lebih muda seperti WAFT-Lab dan Kinetik pun mulai bermunculan, memberikan nuansa yang berbeda pada lanskap praktik seni media di Surabaya.

Benny Wicaksono,
Benny Wicaksono, “In The Shadow of Silent Majorities”. (Dok. Ayos Purwoaji)

Selama dekade yang riuh ini, patut dicatat secara khusus bagaimana Benny Wicaksono meneguhkan eksistensinya dengan berperan ulang alik sebagai seniman sekaligus kurator dan konseptor berbagai acara seni media di Surabaya. Benny Wicaksono sendiri konsisten menggunakan medium video analog sejak pameran tunggal pertamanya, “My Brain Is Dead and Then Disappeared” di UK Petra (1999), “NarsisME” di CCCL (2003), hingga pameran tunggal terakhirnya “PROTOTIPE” di ruangrupa (2015).  Di luar jalur kekaryaannya, Benny Wicaksono juga aktif dalam menyebarkan wacana seni media di berbagai kesempatan, seperti lokakarya atau simposium.

Kecenderungan penurunan aktivitas seni media di Surabaya sudah dapat diraba sejak akhir 2013. Barangkali masyarakat atau pelakunya mengalami titik jenuh. Bahkan beberapa kolektif yang sempat aktif di pertengahan dasawarsa sebelumnya mulai menghilang. Pelakunya gugur satu persatu bagaikan mekanisme seleksi alam. Beberapa seniman media yang masih konsisten dengan jalannya, memilih mengikuti berbagai pergelaran dan pameran di luar Surabaya. Meski begitu, pelaku seni media di Surabaya tak pernah benar-benar kandas, dan beberapa perupa masih tekun menjaga nyala api seni media di Surabaya.

Baca juga Makna Budaya Gendongan Bayi

Salah satunya adalah Cahyo Wulan Prayogo, seniman media yang lahir pada 1988. Ketertarikannya terhadap sinema tumbuh dari kelompok Kinetik yang ia dirikan bersama kawan-kawan semasa kuliah di UPN Surabaya. Selama menjalankan Kinetik, ia juga sempat terlibat dalam beberapa program yang diinisiasi oleh Forum Lenteng dan ruangrupa.

Karya-karya personalnya berakar dari tradisi pembuatan film dokumenter yang mengangkat kisah keseharian masyarakat kota yang ia temui. Pada 2016, pria yang akrab disapa Yoyo ini mengikuti pameran “FastForward: an Exhibition with Video Works” di Cemeti Art House dan pameran “Bongkar Muat” di ruangrupa.

Seniman muda lainnya, Khafidz Fadly atau populer dengan nama Toyol Dolanan Nuklir mengeksplorasi bebunyian atau seni interaktif sebagai bagian dari bahasa estetiknya. Ia adalah seorang insinyur mesin lulusan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) yang lebih suka mengolah instrumen dan perangkat yang ganjil untuk menghasilkan bebunyian atau interaksi yang mengejutkan. Estetika Toyol Dolanan Nuklir adalah imaji dari dunia antah berantah yang asing dan rumit, namun di sisi lain memiliki kualitas daya rayu yang menarik kita untuk masuk ke dalamnya.

Di luar keduanya, masih bisa disebutkan perupa lainnya yang mulai menjajaki dan menekuni seni media, antara lain Tuwis Yasinta, Intan Rista Rini, kolektif Melawan Kebisingan Kota, dan proyek Pertigaan Map yang terus berjalan dengan kecenderungan estetikanya masing-masing. Membuka berbagai kemungkinan di masa depan.

 

Artikel Sinyal yang Hadir Sesekali dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017