Masih kuatnya pandangan di India bahwa new media art adalah seni konseptual yang mengandalkan teknologi dan karenanya lebih mudah diakses publik awam.
Seperti halnya di negara lain, permulaan kemunculan terminologi new media art di India dimulai dari video art. Bentuk video art di India ini muncul pada awal 1990-an, ketika globalisasi dan gerakan religious nationalism memaksa para seniman untuk memikirkan suatu bentuk karya seni yang lebih bisa mencapai audience yang lebih luas.
Menurut sejarawan seni asal Belanda, Johan Pijnappel yang mengkhususkan diri pada penelitian new media art di Asia, atmosfer yang melatarbelakangi kemunculan seni video di India adalah terjadinya sejumlah ledakan bom dan kerusuhan di Bombay pada tahun 1992 dan 1993. Terutama ditambah dengan meningkatnya penemuan-penemuan teknologi yang berkaitan dengan media, menjadikan sejumlah seniman memilih media video yang digabungkan dengan instalasi dan performance untuk memunculkan reaksi dan respon yang lebih seketika dari publik.
Mendefinisikan new media di India memang tak bisa dilepaskan dari video art. Banyak seniman India yang dikategorikan sebagai seniman new media, melibatkan video dalam karya-karyanya. Misalnya Nalini Malani yang menggabungkan instalasi bayang-bayang dan video, Vivan Sundaram dan Sheba Chhachhi yang meleburkan video dan sculpture, video animasi oleh Navjot dan Manjunath Kamath, internet dan painting oleh Baiju Parthan, kemudian Ranbir Kaleka yang menggabungkan painting dan video, dan performance yang berbasis video dan instalasi oleh Subodh Gupta, Shilpa Gupta, Kiran Subbaiah, dan Tejal Shah. Namun pada intinya, sebagian kalangan seni di India masih belum memiliki kata sepakat tentang new media art.
Bhavna Kakar, director dari Latitude 28, galeri di New Delhi yang banyak memberi ruang bagi new media, mengakui bahwa masih sulit untuk secara tegas mengkategorisasi dan mendefinisikan seni new media. Dia menyatakan bahwa kebanyakan orang pada umumnya memahami seni new media sebagai conceptual art yang mengandalkan teknologi sehingga menjadikannya lebih accessible.
Kemudahan mengakses merupakan acuan bagi publik untuk memberikan stempel new media ini dikarenakan pandangan bahwa teknologi memberi banyak kemungkinan, sehingga kehadiran teknologi dalam penciptaan sebuah karya akan mendorong publik untuk mengharapkan bahwa karya new media lebih mudah diakses. Karenanya, karya-karya new media di India lebih banyak dipahami sebagai seni yang melibatkan penggunaan teknologi new media yang berhubungan dengan web, digital art, termasuk suara dan virtual art yang diciptakan melalui program komputer.
Hal ini ditekankan seniman new media India yang tinggal di London, Subha Taparia, bahwa publik India sering membedakan karya seni new media dengan media konvensional seperti lukisan, patung, dan fotografi, adalah bahwa new media sering membutuhkan interaksi yang intim dengan para penikmatnya. Misalnya kedatangan penonton akan memunculkan suara atau cahaya, atau semacamnya. Selain itu, seni new media menciptakan karya yang lebih personal dengan penontonnya, ketika penonton diberikan kontrol terhadap karya tersebut. Dengan kata lain new media menjadikan penonton bisa berinteraksi secara langsung dengan karya seni.
Seiring masih barunya perkembangan new media di India, masih muncul pertanyaan tentang market dan apakah investor serta kolektor di negara tersebut akan bersedia membeli seni new media. Menurut Kakar, masih terdapat pemikiran terkait dengan penyediaan ruang bagi seni new media sehingga memunculkan pandangan bahwa ini adalah seni yang tidak bisa dikomodifikasi. Namun Kakar menyatakan sudah mulai adanya perubahan.
Secara perlahan, seni new media mulai diterima di antara kolektor yang mulai berpikir perlunya penyediaan ruang di rumah mereka untuk bisa mengakomodir instalasi dan seni new media. Pasar terhadap seni ini mulai bertumbuh seiring mulai terjadinya antusiasme publik seni India terhadap seni kontemporer sekaligus pandangan bahwa seni rupa tidak hanya berbentuk lukisan.
Salah satunya dengan kemunculan galeri-galeri yang mulai memberi ruang pada new media, salah satunya Latitude 28. Berlokasi di Lado Sarai, New Delhi, galeri ini didirikan oleh Bhavna Kakar, yang sebelumnya seorang kurator seni , penulis di Art and Deal Magazine, konsultan seni di Art Konsul Gallery di New Delhi, dan pengajar di National Museum Institute. Sebagai peraih gelar bachelor di bidang lukisan dan gelar master di bidang sejarah seni, wajar jika kemudian Kakar yang mendirikan galerinya pada tahun 2008 ini memiliki arahan yang progresif dan terbuka bagi seniman-seniman berbagai genre. Bahkan untuk menunjang galeri ini, ia mendirikan majalah seni rupa, Take on Art pada tahun 2009, yang mewakili pengalaman panjangnya sebagai kurator, penulis, dan konsultan seni. Pandangan kontemporer Kakar menjadikan Latitude 28 tidak hanya menjadi ruang pameran, namun juga mendukung terselenggaranya residensi seniman, seminar, diskusi, dan berbagai kegiatan art management seperti memberikan konsultasi pada klien, art funds, riset, dan dokumentasi.
Keterlibatan teknologi dalam perspektif publik terhadap new media inilah yang menjadikan banyak seniman India yang dinilai menekuni dunia new media, adalah mereka yang lahir di periode sekitar tahun 1970-an. Di antara mereka, yang menonjol saat ini adalah Subha Taparia, Kiran Subbaiah, kolaborasi dua seniman – Thukral dan Tagra, dan Tejal Shah.
Baca artikel lengkap tentang perkembangan new media di India di sini