Barus dahulu dikenal sebagai salah satu bandar atau pelabuhan perdagangan terbesar dan teramai di Asia sehingga membuka pintu masuk agama Islam pertama kalinya di Indonesia. Beberapa jejak siar Islam di kota tua ini masih bisa dilihat hingga saat ini, menjadi destinasi wisata religi bagi para peziarah.
Pada Maret 2017 lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Meskipun belakangan mendapat sanggahan dari sejarawan Aceh yang mengatakan bahwa Peurlak, Aceh Timur, adalah titik nol Islam Nusantara, hal ini bukan semata aksi seremonial tanpa alasan yang kuat.
Sejak lama, Kota Barus terkenal sebagai salah satu tujuan wisata religi di Indonesia karena memiliki peninggalan bersejarah yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di Indonesia. Sejumlah literatur mengatakan bahwa di kota pesisir barat Sumatera Utara inilah awal mula masuknya agama Islam di Indonesia.
Baca juga Kalijodo yang Tak Lagi Porno
Peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua – Barus, memberikan telaah baru mengenai sejarah Islam datang ke nusantara. Membuktikan bahwa Barus telah berkembang menjadi kota perdagangan dengan struktur masyarakat multietnik yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, Bengkulu, Jawa bahkan Bugis, termasuk bangsa asing dari negeri India, Arab, Cina, Tamil dan sebagian kecil Afrika.
Bukti adanya masyarakat multietnik ini berupa temuan aneka keramik, guci dan batu mulia yang berkualitas tinggi dan berusia ratusan tahun. Bukti ini juga menunjukkan kesejahteraan masyarakat Barus ketika itu sudah makmur.
Di Barus hingga kini masih bertahan makam para syekh yang berjasa menyebarkan agama Islam di Barus. Di antaranya, kompleks Makam Mahligai di Desa Dakka dan Makam Papan Tinggi di Desa Pananggahan. Makam Mahligai adalah tempat dimana dimakamkan Syekh Rukunuddin yang diperkirakan berusia 102 tahun dan wafat di tahun 48 Hijriyah atau sekira abad ke-6 masehi. Selain Syekh Rukunuddin, terdapat ratusan makam lainnya, yang diyakini adalah makam para pengikut-pengikutnya.
Tidak sulit menemukan tempat bersejarah ini karena letaknya tidak jauh dari jalan kota dan bisa dicapai dengan mobil. Tiba di gerbang Makam Mahligai, akan terlihat ratusan nisan di atas tanah seluas 3 hektar yang diukir bergaya arab. Beberapa di antaranya diukir lengkap dengan lafal-lafal Islam berbahasa arab kuno. Sementara sebagian lainnya, hanya merupakan nisan batu biasa berbentuk bulat lonjong, namun tetap terkesan kuno.
Baca juga Dialog Tentang Pasar dan Sejarah Kota
Untuk masuk ke dalam komplek makam, pengunjung tidak dipatok tarif masuk, hanya jika ingin bersedekah atau berinfaq untuk biaya perawatan makam disediakan kotaknya dekat pintu masuk. Kepada pengunjung juga diberi beberapa larangan, di antaranya tidak diperkenankan memakai sepatu atau sendal, tidak boleh duduk di atas makam, serta himbauan untuk tidak meminta kepada arwah, karena meminta hanya kepada Allah SWT.
Kompleks Makam Mahligai ini memiliki kontur tanah berbukit dan telah diberikan jalan-jalan setapak untuk memudahkan pengunjung untuk melihat-lihat. Ada sekira 215 makam yang terdapat di dalamnya dengan bentuk dan ukuran nisan yang berbeda. Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh tentang sejarah situs sejarah ini di lokasi.
Seorang penjaga makam yang juga bertani karet di sekitar makam menjadi sumber informasi oral sembari istirahat di bale dan menyeruput kopi panas. Cerita sejarah yang terkandung di dalam Makam Mahligai kita peroleh dari literatur yang ada di buku dan internet. Sangat disayangkan jika situs kuno ini tidak dilengkapi dengan papan informasi yang memuat tentang Makam Mahligai.
Nah, situs kuno lainnya yang bisa kita temukan di Barus adalah Makam Papan Tingi. Berbeda dengan Makam Mahligai, Makam Papan Tinggi berada di Desa Pananggahan. Jaraknya lebih dekat dari pusat Kecamatan Barus, meski untuk menuju makam tidak semudah menuju Makam Mahligai.
Baca juga Berseni dan Bersantai di Abrakadabra
Pasalnya selain berjalan kaki di jalan setapak sejauh 300 meter dari jalan kota, perjalanan kaki kembali harus ditempuh menaiki 700 lebih anak tangga dengan kemiringan 70 derajat. Disarankan bagi pengunjung untuk menyediakan topi, air minum yang cukup, dan sunblock. Waktu kunjung terbaik adalah di pagi hari untuk mendapatkan panorama yang lebih cerah serta menghindari terik matahari pesisir.
Tiba di lokasi makam yang berada di 200 meter di atas permukaan laut itu, tersaji pemandangan sawah, lautan dan beberapa pulau di teluk Sibolga yang cantik. Terlihat juga hamparan hutan dan sawah hijau, membuat kita lupa akan lelah ketika menaiki anak tangga.
Kita bisa menikmati pemandangan yang indah sembari rehat sejenak di bawah pohon di dalam lokasi makam. Jangan lupa, saat masuk ke dalam makam, lepaskan sepatu atau sendal yang dipakai dan tidak membuang sampah sembarangan.
Di dalam makam seluas sekitar 10×20 meter di puncak bukit itu, akan terlihat makam Syekh Mahmud berukuran panjang lebih kurang 7 meter. Bersebelahan dengan makam Syekh Mahmud, terdapat 5 makam pengikutnya yang tersusun berdekatan. Bagi pengunjung yang membacakan ayat-ayat Alqur’an, di lokasi makam disediakan beberapa Alqur’an mini yang bisa dipakai.
Beberapa pengunjung memiliki kebiasaan tersendiri sebelum meninggalkan makam, yakni mengikatkan kain, plastik atau tali, yang dipercaya sebagai mitos tanda sudah pernah menginjakkan kaki di lokasi spiritual itu. Di beberapa titik di dalam makam, ikatan tali-tali tersebut bisa kita lihat.
Baca juga “Torang Nyanda” Dihargai di Sini
Selain dua kompleks makam tersebut yakni Makam Mahligai dan Makam Papan Tinggi, juga terdapat sejumlah makam kuno syekh lainnya yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Barus. Di antaranya, makam Syekh Tuan Ambar, Syekh Ibrahim Syah, Syekh Mahdum, Syekh Kayu Manang, Syekh Tuan Pinago, Syekh Tuan Kinali dan Syekh Tuan Jantikan.
Ketika mendatangi makam Syekh Tuan Pinago di tepi sungai Aek Sirahar, sayang, makam tersebut sudah tergerus abrasi. Sebuah nisan yang diyakini milik Syekh Tuan Pinago diikat di sebatang pohon kelapa agar tidak terbawa arus jika sekali-kali banjir kembali melanda. Sementara makam lainnya sudah tergerus dan dibawa arus sungai. Warga setempat tidak bisa berbuat apa-apa, karena walaupun sudah melaporkan hal ini kepada pejabat berwenang, tidak ada tindakan apapun yang dilakukan untuk melestarikan makam-makam kuno tersebut hingga rusak dan sebagian hilang tergerus abrasi sungai.
Baca juga Menjelajahi Museum di Pulau Djurgarden, Swedia
Salah satu makam yang juga rusak adalah makam Syekh Tuan Kinali. Makam yang terletak di Desa Kinali tersebut berada di komplek pemakaman warga. Bagi pengunjung yang baru pertama kali datang ke sana, hampir tak bisa dikenali sama sekali dimana lokasi makam tokoh penyiar agama tersebut, sebab terhimpit dengan nisan lain dan tidak ada petunjuk. Seorang petani yang tinggal di dekat komplek makam akhirnya menunjukkan nisan Syekh Tuan Kinali, yakni sebuah nisan dengan kain kafan yang menutupi kepala nisannya. Kondisinya hampir tenggelam dimakan zaman dan kehadiran nisan-nisan baru.
Sangat disayangkan minimnya perhatian terhadap situs sejarah agama di Kota Barus. Padahal makam-makam para syekh tersebut menjadi jejak penyiaran Islam di Sumatera yang harus dilestarikan.