Ketika jalan Anyer Panarukan mulai selesai dibangun di jaman berkuasanya Daendels, distribusi rempah-rempah, material, kayu, pakaian, dan bahan pangan menjadi semakin cepat bergerak. Keluar-masuknya komoditas dari kota ke desa dan sebaliknya ini beriringan dengan pergerakan manusia-manusia yang membawanya. Jalan raya sejak hari itu menjadi pencatat jejak menerobosnya modernisme dan ke desa-desa hingga berkembang seperti hari ini.
Berangkat dari studi tentang sejarah pembangunan Jalan Raya Pos ; Anyer-Panarukan dan efeknya pada masyarakat Indonesia hari ini, sutradara dan kurator muda Riyadhus Shalihin mementaskan pertunjukan bertajuk Cut Off! di Selasar Sunaryo, Bandung Sabtu dan Minggu, 4 -5 Juni 2016 mendatang, pukul 8 malam. Pertunjukan peraih Hibah Seni Kelola 2016 ini hadir merefleksikan massa dari jaman Daendels hingga orang-orang di masa kini yang masih bergelut di jalanan dalam bentuk open performance.
Cut Off sendiri menurut Riyadhus berangkat dari kegelisahan tentang isu yang ada di dalam teks Biografi Tomat dan Batu, pertunjukan yang disutradarainya pada awal 2015. Teks yang diambil dari puisi Afrizal Malna dan esai seni rupa seniman Hanafi tersebut menyoroti operasi kolonialisme melalui narasi kecil yang ada di sekitar pekerja bangunan, pembantu rumah tangga, tukang becak, dan penjual bunga.
Meski memadukan unsur manusia, benda, dan video, pertunjukan tersebut bagi dramaturg Taufik Darwis masih berada dalam framing drama-naratif, Berangkat dari kegelisahan ini, Riyadhus, Taufik Darwis, serta John Heryanto, Ganda Swarna, dan Hilmie Zein—yang kemudian berperan sebagai aktor—membedah referensi, di antaranya, Jalan Raya Pos Daendels karya Pramodeya Ananta Toer dan Nusa Silang Jawa karya Denys Lombard.
Dari referensi ini,kelimanya menyusun dasar silang keterkaitan antara pembuatan jalan, masuknya peradaban baru, dan mendesaknya penetrasi modernisme Barat.Pembuatan jalan dalam hal ini dipandang tak hanya sebagai pintu masuk dari paham-paham modernisme, namun juga kapitalisme.
Dalam pertunjukan di Selasar Sunaryo mendatang, Riyadhus menampilkan jejak-jejak yang tertinggal dari sebuah jalan di masa Daendels hari ini. Visi Daendels di balik pembangunan jalan raya dan perilaku keturunan asli Belanda pada pribumi yang terekam di jalanan saat itu dibenturkan dengan kondisi jalanan yang menjadi pemandangan jamak kini, seperti kemacetan, penjambretan, pemukulan sepihak, aksi fasisme oleh kelompok tertentu dan kekerasan agama. Dengan benturan ini, jalanan tak lagi hadir sebatas ruang berangkat dari satu tempat ke tempat lain, namun juga menjadi ruang kontestasi politik yang chaos, dan kerumunan massa partai politik, supporter bola, dan demonstran.
Ide pertunjukan ini kembali dituangkan dalam paduan aksi tubuh dan video, dengan koreografer Tazkia Hariny Nurfaidilah dari seni tari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan videografer Vanny Rantini, alumnus seni rupa Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung. “Gerak-gerak tubuh dalam pertunjukan kali ini kami ambil dari intensi gerak sehari-hari. Kali ini, kami meminimalisir narasi, kami mengeksplor potensi tubuh, arsip, video, dan musik yang ditampikan berlapis antara masa yang berbeda-beda. Dari sini, kami berusaha memunculkan skenografi dari gejala ruang yang dramatik di antara jalanan Daendels dan jalanan hari ini,” kata Riyadhus.
Dengan teknik penyutradaraan dissolve, cut to cut dari film, impresivitas tubuh, serta ekologi cahaya, lulusan ISBI Bandung ini mencoba menawarkan pengalaman atas adegan pada penonton. “Untuk memaksimalkan pengalaman ini, rekaman suara dan video yang merekam penonton saat pertunjukan berlangsung juga dipantulkan pada panggung, sehingga di samping sebagai arsip pertunjukan, pementasan ini juga berupaya memperlihatkan keterlompatan waktu yang goyah,” katanya. Tawaran yang menarik untuk menikmati sekaligus menjadi bagian dari sebuah pertunjukan.