Tahun ini menandai dua tahun sejak pameran tunggal pertama Christine Ay Tjoe di Eropa. White Cube, sebuah galeri kenamaan di London, pada 13 Juli – 11 September 2016 menggelar pameran tunggal pertama Ay Tjoe dalam serial Inside the White Cube.
Ay Tjoe adalah seniman Indonesia yang mampu menembus skena seni internasional. Karya-karyanya kerap menempati harga tertinggi di berbagai pusat lelang, seperti Christie’s dan Sotheby’s Hong Kong.
Baca juga 10 Lukisan Kontemporer Indonesia Termahal Sepanjang Masa
Pameran Ay Tjoen di White Cube, setelah retrospeksi utamanya di Song Eun Art Space, Seoul (2015), dinilai sebagai terobosan baru bagi galeri tersebut setelah selama ini didominasi seniman-seniman dari Eropa dan Amerika Serikat. Apalagi saat ini museum dan galeri di Inggris menghadapi gelombang tuntutan dekolonisasi.
White Cube, yang kini sudah berusia 25 tahun, dimiliki kolektor terkemuka Jay Jopling. White Cube terkenal sebagai rumah bagi Young British Artist (YAB), sebuah kelompok perupa muda Inggris yang pernah berpameran bersama pada 1988. Anggota YAB antara lain adalah Tracey Emin, Damien Hirst, dan Antony Gormley.
Baca juga “Matra Baru”, Rebranding Can’s Gallery
White Cube juga menjadi tuan rumah berbagai pameran seniman internasional, termasuk Andreas Gursky, Georg Baselitz, Jeff Wall, Robert Irwin, dan Miroslaw Balka. Bahkan pameran tunggal terbesar Anselm Kiefer di London diselenggarakan di sini. Selain di London, White Cube memiliki cabang galeri di Hong Kong dan Sao Paolo.
Meskipun galeri pribadi seringkali berorientasi pada pasar, White Cube tetap mampu mempertahankan nilai dalam hal konsep karya, filosofi, dan teknik. Banyak dari koleksi White Cube yang mengedepankan wacana-wacana tertentu, seperti politik, gender, postmodern, dan postcolonial. Hal tersebut dapat terlihat pada deretan karya Jac Leirner, Liza Lou, Runa Islam, hingga Georg Baselitz. Tidak hanya itu, karya-karya yang dikoleksi White Cube dapat dibilang cukup eksperimentatif dalam hal teknik.
Karya-karya Ay Tjoen umumnya identik dengan berbagai macam garis kuat dengan objek-objek figuratif hingga abstrak yang intens. Sebagian besar area kanvas dibiarkan kosong seakan-akan objek lukisannya muncul secara sporadis. Teknik brushstroke nya juga tak segan untuk bermain dalam transisi yang kasar ke halus hingga kacau ke harmonis. Secara keseluruhan, karya-karyanya adalah representasi psike manusia.
Untuk pamerannya di White Cube, Ay Tjoe menghadirkan tujuh karya, di antaranya Greed and Greed 2. Lukisan diptych berukuran 200×340 cm itu menyuguhkan intensitas brushstroke yang spontan dan saling mengejar. Warna merah dengan guratan sentrifugal dihantamkan pada warna hijau yang mengambang.
Baca juga 10 Lukisan Kontemporer Indonesia Termahal 2017
Konfigurasi-konfigurasi warnanya pun berubah membentuk objek-objek abstrak figuratif. Objek “greed” ditampilkan saling berkejaran melalui konfigurasi warna merah, merah kecokelatan, cokelat, dan magenta membentuk wujud bagai cakar.
Jika diamati secara dekat, sang seniman menggunakan teknik color wash dan glazing di antara guratan-guratan ekspresifnya. Kedua teknik tersebut digunakan secara tumpang tindih dengan efek half-tone yang dihasilkan dari brushstrokes untuk melapisi warna-warna sebelumnya. Sementara di beberapa bagian terlihat garis-garis drawing yang digambar secara sporadis, menabrak dan membingkai garis-garis lain.
Baca juga MASA DEPAN INGATAN
Greed and Greed 2 terlihat begitu intens, begitu pula dengan karya-karya lain Ay Tjoe yang dipamerkan di White Cube. Tidak kalah beradu dengan koleksi-koleksi White Cube yang lain. Bagi White Cube, Ay Tjoe jeli melihat era global yang sedang berlangsung: hiper-urbanitas, kepadatan manusia, arus informasi, hasrat yang tidak terhindarkan, kompetisi, dan alam bawah sadar manusia.
Pameran di White Cube dapat dikatakan tonggak karier berkesenian Ay Tjoe di Eropa. Kini, karya-karya Ay Tjoe tengah dipamerkan di 21st Century Museum of Contemporary Art, Kanzawa Jepang. Pameran berlangsung dari 28 April hingga 19 Agustus 2018.